KOMPETISI TANPA PENONTON SULIT TERJADI DI LIGA 1

KOMPETISI TANPA PENONTON SULIT TERJADI DI LIGA 1

Masa new normal corona membuat liga-liga di Eropa melanjutkan kompetisi tanpa penonton. Namun, rencana tersebut sulit terwujud di Liga 1 Indonesia.

Penolakan bukan tanpa alasan. Klub-klub sepak bola Indonesia memang mengandalkan penjualan tiket sebagai pemasukan utama. Ketiadaan penonton dikhawatirkan mengganggu stabilitas keuangan klub dan berimbas pada kesejahteraan pemain.

 

Direktur Madura United, Haruna Soemitro, mengamini sulit menggelar kompetisi sepak bola di Indonesia tanpa penonton. Apalagi larangan tanpa penonton kemungkinan tidak akan digubris sebagian suporter.
 

"Apakah ada yang jamin kalau tanpa penonton, suporter benar-benar tidak datang ke stadion? Di luar negeri mungkin, tapi kalau di sini [Indonesia] tidak. Saya pastikan itu tidak akan mungkin," ucap Haruna kepada CNNIndonesia.com belum lama ini.

Haruna yang juga anggota Exco PSSI itu mencontohkan pertandingan antara PSIS Semarang melawan Persebaya Surabaya beberapa waktu lalu. Meski pihak kepolisian setempat sudah melarang suporter hadir tapi kenyataannya justru malah menimbulkan kerawanan keamanan.

 

Menurut pandangan Haruna, sebenarnya kontribusi pendapatan dari tiket tidak terlalu signifikan untuk pembiayaan tim. Untuk Madura United sendiri, pemasukan dari penjualan tiket ditaksir Haruna hanya mencapai 10-25 persen.

"Yang besar itu sponsor, bisa sampai 60-70 persen. Sisanya adalah share komersial dari liga. Tapi risiko besar jika pertandingan digelar tanpa penonton," katanya.

Komisaris Persib Bandung Bermartabat (PBB) Umuh Muchtar justru memilih untuk tidak mengira-ngira keputusan yang bakal diambil PSSI terkait nasib kompetisi di masa new normal, namun ia berharap keputusan yang diambil sejalan dengan keputusan pemerintah pusat.

 

Umuh juga meminta pertimbangan ulang jika kompetisi harus digelar tanpa penonton. Sebab, buat Persib pendapatan dari tiket cukup membantu biaya operasional tim dalam mengarungi musim kompetisi.

Sementara itu, CEO PSIS Semarang, Yoyok Surkawi membeberkan bahwa pendapatan Laskar Mahesa Jenar sangat bergantung pada penjualan tiket.

Dibandingkan dengan pemasukan lain klub, kalkulasi penjualan tiket penonton buat PSIS bisa mencapai 50-60 persen dari pemasukan keseluruhan. Sedangkan dari sponsor hanya 20 persen dan sisanya hak komersial yang ditaksir di kisaran 10 persen.

"Buat Persija, Persebaya atau Persib mungkin bisa mencapai 70 persen pemasukan dari tiket itu. Persib bisa mohon-mohon kalau dihukum tanpa penonton, memang paling besar pemasukan di sana," ucap Yoyok.

 

Yoyok menjelaskan kompetisi sepak bola Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan liga-liga di Eropa yang punya hak komersial tinggi. Alhasil, klub yang basis suporternya kecil tidak akan bergantung dari hasil penjualan tiket.

"Klub-klub di sini [Indonesia] seperti Barito Putera atau Borneo itu suntikan dari perusahaannya yang besar. Seperti Barito, Pak Hasnur [CEO Barito Putera, Hasnuryadi Sulaiman] dari bisnis pertambangannya. Kalau dalam situasi Covid seperti ini bisnisnya mati, bagaimana pendapatannya?"

PSSI diharapkan mempertimbangkan kemampuan keuangan seluruh klub sebelum membuat keputusan baru di masa pandemi. Sebab, kompetisi bakal lancar jika keuangan klub sehat.

Jika ekonomi klub berantakan, lanjut Yoyok, dampaknya akan dirasakan pemain dan pelatih. Mulai dari pengurangan gaji hingga penunggakan gaji.

 

Klub yang tidak terlalu mempersoalkan penonton yakni Persipura Jayapura. Presiden Klub Persipura, Benhur Tommy Mano mengatakan loyalitas dan dukungan sponsor selama ini menjadi sumber utama tim Mutiara Hitam.

Transparansi keuangan di manajemen Persipura membuat sponsor berani untuk menggelontorkan banyak uang dukungan. Tommy Mano bahkan menyebut pemasukan dari sponsor jumlahnya mencapai 80 persen dari total pendapatan klub.

"Pengeluaran terbesar kami itu ada pada akomodasi, tiket dan penginapan. Uang kami habis di situ saja. Apalagi sekarang stadion kami sedang di renovasi untuk keperluan PON [Pekan Olahraga Nasional] jadi kami harus pindah ke Sidoarjo atau tempat lain," sebut Tommy Mano.

Persipura mengaku menjadi klub yang paling transparan soal pemasukan dan gaji pemain. Bahkan, Tommy Mano menyebut Persipura tidak pernah telat dalam membayarkan hak pemain, termasuk ketika PSSI kesulitan keuangan.

Namun, klub-klub lain memiliki skema masing-masing dalam pengelolaan pemasukan untuk menggaji pemain.

 

Menanggapi hal tersebut, Anggota Exco PSSI Hasani Abdulgani mengatakan pilihan melanjutkan kompetisi tanpa penonton di masa New Normal pasca pandemi bukan pilihan bijak.

Sebagian besar klub mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket yang besarannya variatif antara 50 sampai 70 persen. Hasani sadar, subsidi dari hak komersial yang diberikan operator, Liga Indonesia Baru (LIB) tidak bisa mencukupi kebutuhan klub dalam semusim.

"Kalau penonton tidak ada, tapi menjalankan pertandingan dan subsidi tidak besar, klub pasti memilih untuk membatalkan kompetisi dibanding bermain tanpa penonton," ucapnya.

Belum lagi aturan di tiap-tiap daerah yang memberlakukan sanksi terhadap penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penonton, ungkap Hasani, berpotensi hadir meski dilarang. Sementara klub dan panitia pertandingan yang bakal jadi korban sanksi.

 

Kondisi itu bisa diperparah dengan kemungkinan paparan virus yang sampai saat ini belum dipastikan mereda. Ditambah vaksin yang belum juga rampung.

"Tanpa penonton pasti pengaruh ke stabilitas keuangan klub. Kalau ada kompetisi, klub harus membayar kontrak secara penuh. Surat Keputusan (SK) PSSI memberi solusi bahwa pemain dibayar 25 persen setelah Maret."

"Kalau kompetisi dibatalkan, klub tidak diwajibkan bayar ke pemain karena force majeur. Tapi klub pasti tidak mau kalau tidak ada pertandingan tapi gaji dibayar penuh, apalagi subsidi LIB kecil," jelasnya.


Penurunan Gaji Bukan Solusi

Pengamat sepak bola nasional Muhammad Kusnaeni punya pandangan berbeda. Menurutnya, melanjutkan kompetisi tanpa penonton adalah pilihan paling realistis PSSI. Sebab, konsekuensi bakal jauh lebih besar jika kompetisi musim ini dibatalkan.

Terutama menyoal nasib pemain, kontrak sponsor, pemegang hak siar, agenda konfederasi, dan lainnya.

"Cuma memang harus hati-hati juga memilih meneruskan kompetisi tanpa penonton. LIB dan PSSI harus selalu koordinasi dengan BNPB dan AFC," ucap Kusnaeni.

Kusnaeni juga mahfum jika penjualan tiket masih menjadi pemasukan utama bagi klub di Indonesia. PSSI dan LIB harus membantu klub memastikan sumber pendapatan lain seperti hak siar dan hak komersial dapat terpenuhi sesuai kesepakatan.

 

Jika kompetisi dilanjutkan, LIB juga diminta untuk menyusun jadwal yang ramah dari segi biaya transport dan akomodasi. PSSI juga harus membantu LIB dan klub agar protokol kesehatan tidak menjadi beban biaya tambahan yang memberatkan klub, termasuk memastikan klub-klub tidak dibebani biaya tambahan lainnya untuk penyelenggaraan pertandingan.

"Menurunkan gaji bukan hal yang mudah. Harus ada kesepakatan dulu dengan pemainnya. Tentu akan sangat baik jika ada kesepakatan antara klub dan pemain. Harus ada kesadaran bersama bahwa situasinya memang darurat dan di luar kuasa manusia," ujarnya.

Untuk jangka panjang, Kusnaeni berharap Covid-19 bisa menjadi pelajaran bagi klub dan LIB untuk menyiapkan berbagai skenario untuk melanjutkan kompetisi. Klub-klub juga harus belajar menjadi kreatif dengan memperbesar porsi pemasukan klub di luar tiket dan hak siar televisi.

 

Sumber: CNN Indonesia

##kvision, #liga 1, #pemain sepak bola, #shopeeliga1,